Jakarta…
Tentu kita semua sudah sama-sama tahu
apa itu Jakarta ? Ya, Jakarta adalah ibu
kota Negara kita Indonesia . kota dengan segala keanekaragamannya, kota dengan
sejuta aktifitas warganya dan kota dengan segala macam dinamikanya, ya itulah Jakarta. Jakarta adalah kota dengan magnet yang begitu
dahsyat bagi warga yang tinggal diluar ibu kota . Entah karena apa para kaum
urban berbondong-bondong mendatangai Jakarta untuk mengadu nasib demi sesuap
nasi. Banyak dari mereka yang berkata bahwa “IBU KOTA LEBIH KEJAM DARI IBU TIRI”,
entah darimana dan siapa yang memulai pepatah itu. Tapi memang jika kita lihat
lebih jauh, kata itu tidak sepenuhnya salah. Untuk itu mari kita sama-sama
buktikan :)
Hanya sedikit warga Jakarta yang peduli pada sejarah kotanya
sendiri.
Adolf Heuken pernah diprotes, kenapa beliau
hanya menulis bukunya yang terkenal “Historical Sites of Jakarta” dalam bahasa
Inggris. Menurut beliau itu karena warga Jakarta sepertinyat tidak tertarik
akan sejarah kotanya sendiri.Buku itu memang akhirnya diterbitkan juga dalam
bahasa Indonesia atas permintaan banyak pihak, namun pernyataan Heuken perlu
direnungkan. Kalau melihat banyaknya bangunan tua bersejarah di kawasan kota
lama Batavia yang dibiarkan dalam kondisi terlantar, kawasan bersejarah seperti
segitiga Senen yang beralih fungsi menjadi kawasan komersial modern atau
hilangnya Hotel Des Indes untuk dijadikan kawasan pertokoan Duta Merlin yang
tanpa karakter, atau digusurnya gedung Societet de Harmonie, semakin hilangnya
karakter pecinan di kasawan Kota dan masih banyak lagi, mungkin memang benar
bahwa warga Jakarta kurang peduli pada sejarah kotanya.
Sesuatu hal yang menyedihkan karena dengan
hilangnya monumen sejarah itu hilang pula kolektif memori warga Jakarta.
Jakarta sedang menuju bunuh diri ekologis
Tidak bisa disangkal kawasan hijau di Jakarta
semakin berkurang. Bahkan daerah resapan air dan paru-paru kota juga sudah
banyak berubah menjadi kawasan komersial. Check this : Hutan Simpang Tomang
yang dulunya adalah sabuk hijau kota sekarang sudah menjadi Mal Taman Anggrek.
Daerah persawahan dan rawa di Kelapa Gading sekarang sudah menjadi kawasan
hiburan, perumahan dan komersial. Wilayah Sunter yang dulunya adalah daerah
resapan air sudah menjadi kawasan permukiman dan pabrik. Kawasan hutan bakau
Pantai Kapuk sekarang sudah menjadi daerah perumahan elit. Hutan Kota Senayan
yang dulunya khusus diperuntukkan bagi paru-paru kota sekarang padat dengan
berbagai mal dan bangunan perkantoran. Tidak heran peta genangan banjir semakin
tahun semakin luas.
Jangan salahkan anak-anak yang bermain bola di jalanan, lah, lapangannya mana?
Kasian sekali anak-anak yang besar di Jakarta,
tidak ada tempat bermain, jangankan lapangan bola, taman kecil tempat bermain
ayunan atau bermain kelereng pun sudah tidak ada lagi. Ruang terbuka public di
Jakarta sudah semakin berkurang dan sepertinya tidak pernah mendapat perhatian.
Mungkin pemerintah Jakara berpikir untuk apa ada ruang terbuka public toh
warganya juga sudah tidak punya waktu lagi untuk berinteraksi satu sama lain
.
Mau becak, bemo, bajaj atau busway, semuanya
sama saja, tidak aman dan tidak nyaman.
Bus umum terutama metromini memang sudah
terkenal banyak copet dan kalau lagi apes bisa juga bertemu garong atau dipalak
preman. Tapi siapa nyana naik becak pun bisa dirampok. Busway yang rencananya
akan jadi pahlawan angkutan umum Jakarta pun ternyata tidak nyaman. Tengok saja
antrian busway yang panjangnya bisa sama dengan antrian Bantuan Langsung Tunai
alias BLT. AC dan TV di halte busway yang awalnya dingin dan menyala terus pun
sekarang sudah mati semua. Copet juga tidak ketinggalan ikut meramaikan busway.
Kalau di dalam bis biasa atau metromini copet cukup berpakaian casual, bahkan
aksesoris kebanggaan mereka seperti rantai dan anak kunci masih melekat d
ibadan, maka kalau di dalam busway, para copet berpakaian sangat rapi layaknya
karyawan, bahkan dandanan mereka bisa lebih rapi dan lebih harum daripada
penumpang yang notabene adalah karyawan kantoran betulan.
Dilema pejalan kaki di ibu kota :(
Repotnya jadi pejalan kaki di Jakarta, sudah
jalannya hanya seukuran pinggul orang dewasa, mesti bersaing pula dengan
pedagang kaki lima dan parkiran liar. Pemerintah kota Jakarta sepertinya tidak
pernah memperhatikan pejalan kaki, jangan harap ada trotoar lebar di seluruh
kota Jakarta. Trotoar yang lebar hanya ada di secuil ruas jalan Thamrin
Sudirman. Kalau ada trotoar nganggur sedikit saja, pasti langsung diisi oleh
pedagang kaki lima atau parkiran sepeda motor liar atau bahkan trotoar dipakai
pula untuk perlintasan kendaraan roda dua saat jalanan macet.
Kalau masuk kantor jam 8 pagi, dari rumah jam
6 pagi. Kalau masuk kantor jam 7 pagi, sebaiknya nginap saja di kantor.
Kemacetan lalu lintas adalah makanan
sehari-hari warga Jakarta atau mereka yang bekerja di Jakarta. Beruntung mereka
yang masih punya secuil lahan untuk ditinggali di kota Jakarta. Karena kawasan
permukinan sudah semakin bergeser ke arah pinggiran, semakin banyak kaum
komuter yang masuk ke kota Jakarta setiap hari. Saking padatnya kendaraan di
pagi dan sore hari, semakin lama pula waktu yang terbuang di perjalanan.
Orangtua harus berangkat pagi hari sebelum anak-anak bangun dan baru bisa tiba
kembali di rumah setelah anak-anak tidur. Cara untuk mengatasi kemacetan? Tidak
ada. Satu-satunya pilihan hanya bagaimana menikmatinya saja.
Katanya Molenvliet dulunya adalah Queen of the
East, katanya......
Kota Paris yang indah punya sungai yang
membelahnya menjadi dua. Kota Jakarta juga punya Molenvliet. Sungai ini membelah
kota Jakarta dari Utara ke Selatan. Sekarang, area Molenvlieat adalah daerah
seputar Jl. Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Dahulu daerah ini adalah permukiman
elit warga negara Belanda dan warga keturunan Tionghoa. Kawasan ini sangat
indah karena banyaknya rumah mewah gaya kolonial dengan taman-taman yang luas.
Kawasan in pulalah yang menyebabkan kota Batavia di abad 17 diberi julukan
Queen of the East. Apa yang tersisa saat ini sungguh sangat menyedihkan. Salah
satu rumah mewah Belanda yang masih tersisa di kawasan ini dan masih terawat
baik adalah Gedung Arsip Nasional yang dulunya adalah rumah Reiniers Klerk van
Middelburg, mantan Gubernur Jendral Belanda.
Citra kawasan ini sebagai kawasan indah ala
Eropa saat ini sudah tidak terlihat lagi. Bangunan kolonial sudah diganti
dengan deretan ruko, pub, panti pijat, dan hotel hotel kelas murah.
Asap benar-benar membuat mabuk!
Hidup di Jakarta mau tidak mau harus
bersahabat dengan asap. Mulai dari asap rokok hingga asap kendaraan bermotor.
Berdasarkan penelitian yang pernah saya baca entah dimana, paparan CO2 yang
terlalu tinggi pada tubuh manusia bisa menyebabkan IQ alias kecerdasan bisa
menurun hingga beberapa point. Sayang belum pernah ada penelitian yang
membuktikan bahwa IQ anak-anak Jakarta dan sekitarnya lebih rendah daripada IQ
anak-anak di daerah luar Jakarta. Tapi siapa pula peduli pada otak yang cerdas,
karena di Jakarta apa saja bisa jadi duit. Tapi terlepas dari soal IQ, asap
benar-benar menurunkan kualitas kesehatan di kota Jakarta.
Seperti apa sih budaya asli warga Jakarta?
Selama beberapa tahun tinggal di kota ini,
budaya asli warga Jakarta yang pernah saya lihat hanya ondel-ondel yang muncul
setiap tujuh belasan dan setiap kali ada acara Jakarta Fair. Katanya musik asli
orang Betawi yang warga asli Jakarta adalah Gambang Kromong, seperti apa
bunyinya, mana saya tahu. Katanya setiap kali Lebaran, ada dodol khas bikinan
orang Betawi, seperti apa rasanya, mana saya tahu. Sampai sekarangpun saya
masih penasaran seperti apa budaya asli Jakarta. Semoga saja suatu saat saya
bisa melihat produk asli warga Jakarta sebelum keburu dicekal seperti tari
Jaipong.
Kolong jembatan, pinggir rel kereta, atau di
mana saja deh, kalau mau bisa saja dibuat Istana.
Permukiman kumuh ada di mana-mana, dari yang
legal sampai yang illegal. Masalah kependudukan mungkin memang sudah terlalu
ruwet untuk diatasi. Dalam kumpulan foto tentang daerah kumuh karya Jonas
Bendiksen, seorang fotografer muda asal Norwegia terdapat sebuah foto yang
menggambarkan kehidupan seorang ibu bernama Asanah yang tinggal bersama suami
dan tiga anak remaja di ruangan berukuran dua kali dua meter dengan tinggi 1
meter di bawah kolong jembatan di atas kanal pembuangan sampah kota Jakarta.
Tidak ada satupun perabot rumah tangga di dalam rumah kecil itu. Sungguh
menyesakkan menyaksikan kehidupan kaum miskin dan sangat miskin di kota ini.
Mau digusur atau diremajakan? Tidak ada pilihan yang mudah.
Untuk itu, kita sebagai warga Negara Indonesia,
tentu tidak ingin jika ibu kota Negara kita dilecehakn dunia internasional
hanya karena masalah yang diatas. Untuk itu mari sama-sama kita jaga dan kita
lestarikan, serta kita sama-sama berpegangan tangan untuk sama-sama
menyelesaikan masalah yang terjadi di Jakarta. Tentu masalah ini, bukan hanya
menjadi tanggung jawab bapak gubernur yang memimpin, kita sebagai warga Negara Indonesia
dan warga Jakarta harus terlibat, serta kita tidak boleh menutup mata dalam
mengatasi masalah yang kerap terjadi di ibu kota Negara kita ini ..
Hidup Jakarta, Hidup Indonesia !!