Rabu, 21 November 2012

Pertambangan

POTRET PERTAMBANGAN TIMAH DI INDONESIA

  • ·         SEJARAH PERTAMBANGAN TIMAH
Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangan timah ini, tersebar dalam bentangan wilayah sejauh lebih dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt. Bentangan ini merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt, membujur sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga Indonesia. Di Indonesia sendiri, wilayah cadangan timah mencakup Pulau Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian di daratan Sumatera (Bangkinang) di utara terus ke arah selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan. Penambangan di Bangka, misalnya, telah dimulai pada tahun 1711, di Singkep pada tahun 1812, dan di Belitung sejak 1852. Namun, aktivitas penambangan timah lebih banyak dilakukan di Pulau Bangka, Belitung, dan Singkep (PT Timah, 2006). Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Dari sejumlah pulau penghasil timah itu, Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia. Pulau Bangka yang luasnya mencapai 1.294.050 ha, seluas 27,56 persen daratan pulaunya merupakan area Kuasa Penambangan (KP) timah. Area penambangan terbesar di pulau ini dikuasai oleh PT Tambang Timah, yang merupakan anak perusahaan PT Timah Tbk. Mereka menguasai area KP seluas 321.577 ha. Sedangkan PT Kobatin, sebuah perusahaan kongsi yang sebanyak 25 persen sahamnya dikuasai PT Timah dan 75 persen lainnya milik Malaysia Smelting Corporation, menguasai area KP seluas 35.063 ha (Bappeda Bangka, 2000). Selain itu terdapat sejumlah smelter swasta lain dan para penambang tradisional yang sering disebut tambang inkonvensional ( TI ) yang menambang tersebar di darat dan laut Babel. Permasalahan Penambangan timah yang telah berlangsung ratusan tahun itu belum mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal, cadangan timah yang ada kian menipis pula.

  •    Perizinan Pertambangan di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, Kuasa Pertambangan (KP)
merupakan bentuk perizinan yang memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk
melakukan usaha pertambangan, sesuai substansi dari bahan galian golongan a, b atau c.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, perizinan pengusahaan pertambangan pada dasarnya diberikan oleh Pemerintah
dan dilaksanakan pengusahaannya oleh Instansi Pemerintah, kecuali untuk bahan galian
golongan c yang telah diserahkan kepada pemerintah Daerah ( berdasarkan PP Nomor 32
Tahun 1969 ). Namun setalah berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2001, pengelolaan pertambangan diserahkan
kepada Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan pemberian
otonomi daerah. Dengan demikian paradigma pengusahaan pertambangan dalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 perlu disesuaikan. Namun sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hingga Desember 2008, penyesuaian terhadap
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tidak juga tercapai. Sehingga di dalam
implementasinya banyak terjadi permasalahan dalam pemberian perizinan pengusahaan
pertambangan. Baru pada akhir 2009 disahkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengatur sistem perizinan
pertambangan dengan bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP).

  •          Efek pertambangan
Pertambangan timah Bangka Belitung yang dikelola PT Timah telah berkontribusi bagi perekonomian negara, baik menyumbang devisa negara serta menjadi penggerak perekonomian di wilayah Bangka Belitung. Pendapatan PT Timah pada 2007, seperti disebutkan sebelumnya, mencapai Rp. 8, 626 triliun dan pada 2008 mencapai Rp. 9, 053 triliun. Namun, pertambangan timah Bangka Belitung juga telah mengabaikan pengelolaan lingkungan hingga menimbulkan dampak kerusakan ekosistem. Dampak kerusakan ekosistem akibat pertambangan timah Bangka Belitung merupakan dampak lingkungan jangka panjang, berupa kolam-kolam bekas tambang, hilangnya keanekaragaman hayati, dan berkurangnya vegetasi. Pemulihan dampak kerusakan lingkungan itu bisa jadi membutuhkan biaya lebih tinggi dibanding keuntungan produkti timah yang telah diperoleh. Dan selama ini, PT Timah, PT Kobatin, atau pun penambang inkonvensional hanya mengambil manfaat ekonomi dari sumberdaya timah. Perlahan kondisi lingkungan provinsi pemasok 40 persen timah dunia ini mengalami kehancuran. Tambang timah ilegal pun telah membuat bumi Bangka Belitung tercabik-cabik. Setidaknya 15 sungai besar di wilayah ini telah rusak yang menyebabkan flora dan fauna berada di ambang kepunahan. Ini disebabkan banyaknya pelanggaran aturan, dalam bentuk penambangan di luar wilayah KP yang telah ditetapkan atau menjual hasil penambangan kepada pihak lain selain kepada pemilik kuasa penambangan (KP). Akibatnya, tambang timah bisa muncul di daerah aliran sungai atau pun di pantai. Berdasarkan catatan Jaringan Advokasi Tambang, setidaknya 100 kilogram batuan digali hanya untuk menghasilkan 0,35 kilogram bahan tambang. Sedangkan 99 persen bahan sisa tambang itu dibuang sebagai limbah. Asosiasi Tambang Timah Rakyat (Astira) Bangka Belitung bersama pemerintah daerah dan kepolisian bekerja sama menertibkan tambang timah ilegal. Saat ini jumlah tambang timah tinggal 6.000-an unit karena ketatnya penertiban. Tahun 2004-2006 tambang timah pernah mencapai 17.000 unit. Mereka, tak memperhitungkan jasa ekologi yang mampu diberikan ekosistem hutan dan lahan yang tereksploitasi. Keberadaan ekosistem hutan dan ekosistem hutan mangrove misalnya, yang memiliki jasa ekologi seperti pertukaran energi (energy circuits), siklus hidrologi, rantai makanan mahkluk hidup (food chains), mempertahankan keanekaragaman hayati (diversity patterns), daur nutrien (nutrien cycles), dan pengendali ketika terjadi pencemaran (control/ cybernetics). Kelestarian fungsi ekosistem hutan seharusnya dipertahankan. Jika tidak, maka keberlanjutan kehidupan mahkluk hidup dan bahkan manusia akan terancam. Kerusakan ekosistem hutan telah berdampak panjang pada efek rumah kaca yang mengakibatkan bumi semakin panas dan berdampak pada kesehatan manusia. Jika manusia menyadari pentingnya menjaga kelestarian fungsi ekosistem hutan, sesungguhnya hal ini adalah untuk keberlanjutan manusia itu sendiri. Beberapa pakar mengungkapkan bahwa ekosistem hutan memiliki kemampuan suksesi sehingga tidak menjadi masalah mengeksploitasi hutan. Hal ini sebenarnya keliru, sebab ketika hutan dieksploitasi hingga habis maka hutan kehilangan fungsi ekologinya sebagai pengatur/ ecological regulatory (siklus hidrologi, siklus nutrien, rantai makanan); fungsi pemelihara/ ecological maintaning (mencegah erosi, abrasi) dan fungsi pemulihan/ecological recovery (menyerap emisi karbon). Ketika hutan dieksploitasi hingga habis maka seketika hutan tidak memilliki fungsi ekologi dan akan mengakibatkan ketidakseimbangan dalam sistem alam dan berpotensi menimbulkan bencana alam.  Terlebih lagi, tailing yang dibuang ke sungai mengakibatkan kerusakan ekosistem sungai dan kematian beberapa biota perairan. Masyarakat pun tidak dapat memanfaatkan sumberdaya sungai seperti sebelumnya, misalnya untuk memancing, rekreasi, atau pun sebagai sumber air permukaan. Pada musim hujan, kolong-kolong bekas galian tambang akan terisi air namun menjadi kering dan gersang pada musim kemarau. Hal ini karena tidak ada lagi hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air (catchment area). Hilangnya ekosistem hutan juga membawa dampak pada degradasi lahan, termasuk lahan pertanian. Dampaknya, hasil pertanian, hasil kebun petani pun menurun. Jika hasil pertanian yang dihasilkan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Bangka Belitung, mereka terpaksa harus membelinya di luar. Hal ini tentu menambah biaya, dan mereka mendapatkan harga hasil pertanian yang relatif lebih mahal. Lahan pertanian dan tanah-tanah lapang di Bangka Belitung saat ini juga menjadi sangat tandus dan gersang. Membutuhkan biaya besar untuk mereklamasi atau pun merevegetasi untuk menjadikan lahan tersebut kembali berproduksi. Kekeringan, banjir, serta penurunan hasil pertanian adalah bagian dari dampak karena penambang tidak melestarikan fungsi hutanlindung.


0 komentar:

Posting Komentar